Foto: Agung Pambudhy/detikSport Jakarta - Abdul Halim Dalimunthe tak menyangka berstatus sebagai atlet papan atas Tanah Air. Dulu, ia seorang tukang pijat.
Halim, 33 tahun, menggenggam selembar uang Rp 500. Dia sedang lapar berat.
Tapi, ia tak bisa mengabaikan sobat di satu asrama di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna Bandung, yang juga tengah kelaparan.
"Bagaimana caranya kami belanja di koperasi dengan uang Rp 500 itu cukup untuk berdua," kata Halim dalam One on One
detikSport. Waktu itu, Halim memang sering tak punya uang. Dia masih berprofesi sebagai tukang pijat. Pijat tunanetra. Pemasukan pun cuma mengandalkan panggilan.
 Abdul Halim berlatih ketika berlatih di Stadion Sriwedari Solo. Foto: Agung Pambudhy/detikSport |
Masa-masa berat itu tak akan luntur dari ingatannya. Tapi, justru dengan pengalaman melewati periode berat itu, Halim merintis jalan menjadi atlet. Dia menyadari penghasilan sebagai tukang pijat pas-pasan.
Halim ingat, ketika belum buta total, pernah melihat kantor National Paralympic Committee (NPC) Jawa Barat di seberang asrama tempatnya tinggal. Dari dongeng seorang teman, ia pun tahu kalau NPC menjadi tempet menggembleng orang-orang disabilitas menjadi seorang atlet tangguh.
Halim, yang memang doyan berolahraga, pernah berlatih sepakbola di Sekolah Sepakbola (SSB), mendaftar. Dia diarahkan untuk berlatih lari. Pelatih menilai Halim mempunyai kemampuan lari yang menjanjikan.
"Saat itu, aku masih jadi tukang pijat. Pagi dan sore latihan, di antara waktu itu aku memijat," kata Halim.
Mendekati Pekan Paralimpiade Daerah 2010, ia pun makin ulet berlatih. Mati-matian. Apalagi, statusnya juga sudah tak lajang lagi.
Halim menikahi Komala Sari pada 28 September 2009. Malah, tak usang lalu istrinya hamil.
Tapi, alasannya yakni status menikah itu pula, Halim tak bisa meninggalkan profesinya. Agar dapur pengantin gres itu tetap ngepul, Halim tetap mendapatkan order memijat.
"Waktu itu ekonomi dari pijat kurang, gali lubang tutup lubang. Saya terus jalani pijat dan latihan. Setiap habis mijat ke stadion dengan buru-buru hingga hampir tertabrak ketika menyeberang jalan, nabrak tiang,
nyebur got, semua sudah aku alami. Saya cuma berpikir, yang penting aku harus lolos seleksi," ujar dia.
Perjuangan Halim membuahkan hasil. Dia lolos seleksi dan layak dinilai layak bergabung dengan tim Kota Bandung. Dia turun di lari 100 meter, 200 meter dan lompat jauh. Halim jadi nomor satu di nomor-nomor itu. Prestasinya diganjar bonus Rp 30 juta.
Melihat nominal bonus dan apresiasi masyarakat kepada dirinya yang difabel, yang dulu bahkan pernah dianggap 'kamu bisa apa sebagai tunanetra', Halim pun bertekad untuk bisa menembus persaingan nasional. Hasratnya terwujud.
Halim menjadi bab atlet disabilitas Jawa Barat, lalu membuka jalan ke pelatnas. Berada di pelatnas menciptakan Halim tak bisa menjalani dua profesi. Dia harus menentukan salah satu, tukang pijat atau menjadi atlet.
"Dari sisi ekonomi, aku menentukan menjadi atlet. Pengalaman yang luar biasa juga aku dapatkan dari sini," ujar Halim.
 Foto: Agung Pambudhy/detikSport |
Faktanya, Halim mendapatkan kesempatan membela Indonesia di ASEAN Para Games 2013 di Myanmar. Halim mendapatkan dua emas.
"Tak disangka-sangka aku bisa mewakili Indonesia ke ajang olahraga tertinggi di olimpiade, aku mendapatkan
wildcard ke Paralimpiade 2016 Rio de Janeiro. Itu luar biasa," kata Halim yang mengoleksi perunggu Asian Para Games 2014 dan dua emas ASEAN Para Games 2017 Kuala Lumpur itu.
Kini, Halim akan menuju satu ajang prestise lain. Dia menjadi salah satu pendekar Indonesia untuk meraih medali di
Asian Para Games 2018 di Jakarta mulai 6-13 Oktober.
Bukan sekadar untuk memperbaiki ekonomi, sekarang Halim berlari untuk nama Indonesia. Latihan pagi dan sore dijalani dengan penuh semangat. Lari sprint 100 meter, 200 meter, 400 meter menjadi sajian sehari-harinya.
"Saya ingin menandakan difabel itu bisa. Salah satunya, bisa mengharumkan nama Indonesia, meski aku harus berlari dalam gelap," ujar dia.